TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan kubunya tak ingin ada razia terhadap buku apa pun. Hal ini disampaikan Dahnil saat ditanya ihwal peristiwa penyitaan buku-buku yang dianggap memuat paham kiri belakangan ini.
Dahnil beralasan, kubu Prabowo dan Sandiaga justru ingin menciptakan iklim literasi yang membangun. "Yang jelas kami tidak mau ada razia-razia buku," kata Dahnil di Media Center Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Kamis, 14 Maret 2019.
Dahnil menuturkan, tradisi literasi bisa bertumbuh dengan mengonsumsi semua produk pemikiran. Maka dari itu, kata dia, semua produk pemikiran, termasuk buku-buku kiri harus dihormati dan diberi ruang.
Mantan dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini pun meyakini seorang yang berwawasan akan dapat memfilter bahan-bahan bacaan yang dikonsumsi. Sehingga, kata dia, pihaknya tak perlu khawatir jenis terhadap jenis-jenis bacaan tertentu. "Orang yang tingkat literasinya tinggi itu pasti mampu memfilter."
Penyitaan buku-buku kiri terjadi di sejumlah kota beberapa waktu lalu. Komando Distrik Militer 0809 Kediri menyita 183 buku dari Toko Q Ageng dan Toko Abdi di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Kedua toko ini berada tak jauh dari kompleks pusat pembelajaran Bahasa Inggris atau yang dikenal dengan Kampung Inggris.
Komandan Kodim 0809 Letnan Kolonel Kav. Dwi Agung Sutrisno mengatakan anggotanya bergerak melakukan pengamanan buku-buku itu setelah mendapat informasi dari masyarakat pada hari Rabu, 26 Desember 2018 petang. “Anggota kami mendapat kabar kalau ada dua toko yang menjual buku PKI,” kata Dwi Agung kepada Tempo, 27 Desember 2018.
Beberapa buku yang disita, misalnya, Benturan NU PKI 1948-1965 yang disusun oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kemudian ada, Di Bawah Lentera Merah karangan Soe Hok Gie yang membahas pergeseran pola gerakan Sarekat Islam Semarang.
Penyitaan ini menuai kritik dari pegiat buku dan organisasi kelompok masyarakat sipil. Sejarawan dan pegiat buku dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, menyebut penyitaan buku itu bertentangan dengan amanat Undang-undang Dasar 1945.
"Jelas-jelas UUD menyatakan tujuan kita menjadi Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa," kata JJ Rizal melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Desember 2018.
Tak lama setelah peristiwa di Kediri, penyitaan buku juga terjadi di Padang, Sumatera Barat. Kepala Panglima Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan Kolonel Infantri Roy Hansen J. Sinaga mengklaim hanya mengamankan buku-buku yang dianggap mengandung paham komunisme.
Roy juga membantah melakukan penyitaan. "Bukan disita, tapi diamankan, dan bukan juga ada razia," kata Roy saat dihubungi, Kamis, 10 Januari 2019.
Penyitaan buku semacam ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Mahkamah menyatakan, pemberangusan atau penarikan buku yang dilakukan Kejaksaan harus melalui proses pembuktian di pengadilan. Artinya, tak boleh ada pihak tertentu yang ujug-ujug datang dan menyita buku seperti yang terjadi di Kediri dan Padang itu.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANDITA RAHMA